Awal tahun ini saya dan suami mengalami kehidupan pedesaan yang sesungguhnya di Jawa Tengah. Kami pergi ke sebuah desa bernama Candi Rejo. Letaknya sekitar setengah jam perjalanan dari Borobudur, candi Budha terbesar di Indonesia.

Kami mendengar dari mitra kami di Indonesia bahwa Candi Rejo telah memulai proyek wisata berbasis komunitas & ekowisata. Kami pergi untuk mempelajari lebih lanjut tentang proyek ini. Dalam perspektif kami, pariwisata berbasis masyarakat berarti pariwisata yang berkonsultasi, melibatkan dan menguntungkan masyarakat setempat. Kami ingin melihat apakah ini benar-benar terjadi di desa ini.

Pada awalnya, kami tidak benar-benar yakin apa yang diharapkan. Kami membeli tiket dari Bali, membuat perjanjian dengan kepala desa, dan hal berikutnya yang kami tahu kami berada di bandara Jogjakarta.

Panduan kami disebut IJ (diucapkan EE-Jay). Dia sangat ramah dan banyak bicara, meskipun bahasa Inggrisnya terbatas. Dia adalah wanita yang menarik. Dia berusia sekitar 35 tahun, dan setiap hari dia mengenakan jilbab (jilbab) dan kemeja lengan panjang untuk menutupi lengannya meskipun cuaca sangat panas. Jelas itu adalah tampilan normal bagi wanita Muslim di sana. IJ adalah seorang ibu tunggal, membesarkan 2 anak seorang diri. Dia adalah satu-satunya pemandu wanita di desanya, dan dia sangat bangga akan hal itu. Dia mengatakan ketika tidak ada pengunjung untuk memandu di sekitar dia bertani seperti orang-orang di desanya, untuk informasi lebih lengkapnya di https://www.detribpas.com.

Setelah kami bertemu IJ kami berkendara ke kota, yang berjarak sekitar 1 jam dari bandara. Pemandangannya sangat menakjubkan. Kami bisa melihat gunung berapi di kejauhan saat kami melewati ladang sawi, ladang jagung, peternakan tapioka dan jenis pertanian sayuran lainnya. Kami juga melewati candi Buddha abad ke-9 bernama Pawon. Ini didedikasikan untuk Kuvera, Dewa Keberuntungan.

Hal pertama yang kami lakukan sesampainya di Candi Rejo adalah bertemu dengan kepala desa. Kami mengira dia adalah pria tua berkumis abu-abu seperti banyak pejabat pemerintah Indonesia lainnya. Kami terkejut ketika kepala desa, Pak Ian, muncul. Seorang pria berusia 28 tahun yang menawan, berbicara lembut dan berpakaian sangat bagus.

Ia menjelaskan secara singkat sejarah ekowisata di Candi Rejo. Hanya beberapa tahun yang lalu sebuah LSM Indonesia mendekati desa tersebut dan memperkenalkan konsep ekowisata berbasis masyarakat. Setelah melalui banyak pertemuan desa, masyarakat di Candi Rejo menerima ide tersebut. Desa ini juga memiliki keuntungan karena sangat dekat dengan Borobudur, candi Budha terbesar di Indonesia dan keajaiban dunia kuno. Mereka memiliki sungai yang bisa digunakan untuk arung jeram, dan juga memiliki jalur bagus yang disebut Watu Kendil, yaitu jalur menuju Bukit Kendil. Dari atas bukit ini, kita bisa melihat 5 gunung berapi dan juga keseluruhan konstruksi Candi Borobudur.

Proyek ekowisata di Candi Rejo merupakan pilot project di Indonesia. Desa ini berpenduduk sekitar 5.000 orang, dan mayoritas penduduk di sana adalah petani. Unit utama yang mengelola industri pariwisata di Candi Rejo adalah masyarakat yang menjalankan koperasi (co-op), bukan pemerintah. Kepala koperasi tetap melapor ke kepala desa, tetapi pendapatan langsung ke warga.

Penduduk setempat secara sukarela bergabung dengan koperasi. Misalnya, mereka yang memiliki kamar ekstra di rumahnya dapat mendaftar sebagai penyedia akomodasi. Orang yang memiliki becak yang ditarik kuda dapat bergabung dengan koperasi sebagai salah satu penyedia transportasi desa. Setiap orang di koperasi harus setuju dengan sistem daftar, yang memberikan kesempatan yang sama kepada pemandu, porter, tur desa, pemeliharaan trek, dan penjualan kerajinan tangan untuk menghasilkan uang.

Tak ayal, proyek ekowisata telah meningkatkan perekonomian desa. Sejak Candi Rejo memperoleh status resmi “desa wisata” pada tahun 2003, Candi Rejo telah berkembang menjadi desa yang lebih bersih dan sejahtera. Kepala desa telah memerintahkan setiap rumah di desa untuk menanam “Rambutan”, pohon buah tropis di depan rumah mereka. Hasilnya adalah: desa ini menjadi sangat hijau dan rindang. Cuaca di Jawa Tengah bisa menjadi sangat panas, sehingga pohon-pohon besar ini dapat melindungi pejalan kaki dari terik matahari.

Ketika kami bertanya kepada kepala desa apakah dia khawatir suatu hari industri pariwisata akan membawa polusi yang luar biasa ke desa, dia mengatakan koperasi membatasi jumlah pengunjung per tahun. Program pariwisata yang mereka kembangkan juga lebih fokus pada green tourism, bukan program turis. Jadi wajar saja, mayoritas pengunjung yang datang ke Candi Rejo adalah para pelancong yang berjiwa hijau. Mereka ingin belajar tentang pertanian atau merasakan kehidupan pedesaan Jawa yang sesungguhnya.

Pada tahun 2007, desa ini dikunjungi sekitar 800-900 pengunjung. Kami melihat foto-foto pengunjung mereka sebelumnya. Beberapa sekolah dari kota-kota besar Indonesia telah mengirim siswa untuk mengunjungi Candi Rejo untuk belajar tentang pertanian dan kehidupan pedesaan. Memang banyak anak Indonesia yang besar di kota besar tidak tahu seperti apa pohon dan buah yang mereka makan di dalam tanah. Program pembelajaran semacam ini mengajari mereka dari mana makanan di pasar itu berasal. Ini juga meningkatkan kesadaran di antara para siswa tentang betapa pentingnya melestarikan lingkungan Anda.

Tidak hanya mahasiswa dari seluruh Indonesia yang datang ke Candi Rejo. Pemerintah dari desa lain di Indonesia juga mengunjungi Candi Rejo untuk belajar tentang desa wisata dan ekowisata.

Kita tidak bisa melupakan betapa baiknya orang-orang di Candi Rejo. Semua orang sangat ramah dan membantu. Kami merasa pariwisata berbasis masyarakat sangat sesuai dengan karakter mereka. Keinginan alami mereka untuk mengakomodasi tamu mereka membuat perjalanan kami begitu lancar dan berkesan.

Di Candi Rejo kami belajar memainkan Gamelan Jawa (alat musik tradisional mereka), Anda dapat mengetahuinya di 10 Alat Musik Tradisional dan Cara Memainkannya. Kami juga bermain voli dengan penduduk setempat, yang sangat menyenangkan! Kami mengambil becak kuda di mana-mana selama kami tinggal di sana (0 emisi pasti). Kami juga diundang untuk mengunjungi rumah kepala desa untuk pertemuan komunitas. Rasanya seperti kami mengunjungi keluarga kami di sana.

Kami meninggalkan Candi Rejo dengan kenangan indah tentang desa ini. Kami akan kembali dalam sekejap. Semoga lain kali kami bisa membawa wisatawan kami ke sana bersama kami. Kami bangga gerakan ekowisata dan pariwisata berbasis masyarakat di Indonesia berkembang pesat. Kami berharap proyek-proyek ini dapat mengentaskan kemiskinan, menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan yang terpenting menopang ekologi Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *